The National development of Indonesia requires support from the steel industry which is known as the rice of industrial world. In order to enhance the growth of the steel industry, Indonesia has initiated cooperation with the government of South Korea. In practice, there are challenges in terms of environmental management, namely the management of steel slag waste which continue to increase. Technically, steel slag can be utilized in the construction of infrastructure as an aggregate alternative in civil works, which is in particular are used as raw material for cement, road aggregate, foundation materials, and fertilizers. In other countries such as South Korea, Japan, the United States of America and the European Union, steel slag which is categorized as by-product has been utilized as a whole while in Indonesia the utilization of steel slag is restricted due to its category as Hazardous and Toxic Waste under the existing law or regulations. From the technical and environmental aspects, there are a lot of research, assessment, and even trials proving that the steel slag is not hazardous or toxic, and the results of its use is better than natural aggregate. On the basis of this assessment, the Indonesian Government should consider to revise the Government Regulation No. 101 of 2014 on the Management of Hazardous and Toxic Waste which still categorizes steel slag as Hazardous and Toxic Waste. If the regulation is not revised it will give a negative impact on the growth of the steel industry. Interdiciplinary agreement has taken place between the Indonesian Iron and Steel Industry Association, Ministry of Environment and Forestry, Ministry of Public Works and Public Housing and the National Standardization Agency to formulate a clear and firm policy to stop the legal uncertainty in implementation. This discussion recommends the need of specified legislation to accommodate the steel slag utilization by establishing Government Regulation that delists steel slag from the category of Hazardous and Toxic Waste. / Pembangunan nasional Indonesia membutuhkan dukungan dari industri baja yang merupakan berasnya dunia perindustrian. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan industri baja, Indonesia merintis kerja sama dengan pemerintah Korea Selatan. Dalam pelaksanaannya, terdapat tantangan dari segi pengelolaan lingkungan, yaitu dalam pengelolaan limbah slag baja yang saat ini jumlahnya terus meningkat. Secara teknis, slag baja dapat dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur sebagai alternatif agregat dalam pekerjaan sipil khususnya digunakan sebagai bahan baku semen, agregat jalan, bahan fondasi, dan pupuk. Di negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa, slag baja yang dikategorikan sebagai produk samping telah dimanfaatkan secara keseluruhan sementara di Indonesia pemanfaatan slag baja tidak dapat dilakukan dengan leluasa karena pengkategoriannya sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari aspek teknis dan lingkungan, banyak penelitian, pengkajian, dan bahkan uji coba yang membuktikan bahwa slag baja tidak berbahaya maupun beracun serta hasil dari pemanfaatannya pun lebih baik daripada agregat alam. Atas dasar kajian ini, Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang saat ini masih mengkategorikan slag sebagai Limbah B3. Jika tidak dilakukan revisi diperkirakan akan menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan industri baja. Saat ini sudah ada kesepakatan interdisipliner antara Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Badan Standarisasi Nasional untuk merumuskan kebijakan yang tegas dan jelas guna menghentikan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Diskusi ini merekomendasikan perumusan sebuah peraturan perundang-undangan terperinci untuk mengakomodasi pemanfaatan slag baja dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah yang mengeluarkan slag baja dari kategori Limbah B3.