Prenuptial Agreement is an agreement made between a husband and wife before the marriage ceremony. According to Civil Code, marriage is valid when performed in the presence of civil servants while according to Marriage Act the marriage is valid if done in the presence of religious leaders. According to Civil Code, a prenuptial agreement must be made before the marriage in the presence of officials of civil servants is done. Meanwhile, according to Marriage Law, a prenuptial agreement must be made before the marriage took place in the presence of religious leaders. Prenuptial agreement made after the marriage takes place, it is not valid and is not binding on third parties. According to the Civil Code, a prenuptial agreement that has been filed in a civil or KUA must be registered to the District Court of Justice. According to Marriage Law, prenuptial agreements must be requested records or endorsement to a Civil or KUA that prenuptial agreement is valid and binding on third parties. If not registered, the agreement is binding for husband and wife only. Delay in registration of the prenuptial agreement will make that agreements should be requested determination of the District Court of Justice. The District Court of Justice will order the civil registry to give marginal notes as well as according to Marriage Law, the prenuptial agreement must be requested the determination of the District Court of Justice for later given marginal notes. In this study, data collection is done by using the approach of legislation, comparing the Civil Code and Marriage Law on Marriage that relate to the prenuptial agreements. From these results, we can conclude that there are differences regarding the prenuptial agreement between the Civil Code and Marriage Law, like the registration of a prenuptial agreement, validity of the prenuptial agreement, and its consequence for third party. / Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat antara suami dan istri sebelum perkawinan dilangsungkan. Menurut KUHPerdata, perkawinan sah apabila dilakukan di hadapan pegawai catatan sipil sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan di hadapan pemuka agama. Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan di hadapan pejabat catatan sipil dilakukan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan di hadapan pemuka agama dilangsungkan. Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung, tidak berlaku dan tidak mengikat pihak ketiga. Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan yang telah diarsip di catatan sipil atau KUA harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan harus dimintakan pencatatan atau pengesahan ke Catatan Sipil atau KUA agar perjanjian perkawinan tersebut berlaku dan mengikat terhadap pihak ketiga. Apabila tidak didaftarkan, menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka perjanjian pekawinan tersebut hanya mengikat suami dan istri saja. Keterlambatan pendaftaran perjanjian perkawinan mengakibatkan perjanjian perkawinan harus dimintakan penetapan ke Pengadilan Negeri dan menurut KUHPerdata, Pengadilan Negeri akan memerintahkan catatan sipil untuk memberikan catatan pinggir demikian juga menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan harus dimintakan penetapan Pengadilan Negeri untuk kemudian diberikan catatan pinggir. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan, yaitu dengan membandingkan antara KUHPerdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berhubungan dengan perjanjian perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mengenai perjanjian perkawinan antara KUHPerdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 baik mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan, keberlakuan perjanjian perkawinan, dan akibat nya bagi pihak ketiga.