Pengalihan hak milik di bawah perwalian adalah Jaminan Fidusia bahwa pemilik barang memegang hak asuh atas agunan. Sebagai konsekuensi dari penguasaan objek oleh Pemberi Fidusia, maka pada saat Penerima Fidusia melaksanakan hak pelaksanaannya, maka objek Jaminan Fidusia tersebut seringkali hilang atau hancur atau berpindah tangan, sehingga mengakibatkan kerugian atau penurunan nilai Fidusia tersebut. Jika penggugat tidak dapat melindungi agunan, peminjam menderita kerugian. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya tidak mencantumkan kewenangan eksekutor dalam sertifikat Jaminan Fidusia, dan menilai pelanggaran janji memerlukan kesepahaman antara para pihak atau proses peradilan. Hal tersebut menimbulkan persoalan hukum yang patut dipertanyakan, seperti bagaimana mekanisme penyelenggaraan Jaminan Fidusia dan kepastian hukum peminjam dipengaruhi oleh kekuatan hak eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Berdasarkan temuan studi tersebut, Pasal 15 UU Jaminan Fidusia dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak dapat memberikan kejelasan prosedural kepada kreditor. Keputusan ini berdampak pada kreditor karena Jaminan Fidusia pada hakikatnya. memudahkan pelaksanaan eksekusi jika debitur wanprestasi (Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU No. 42/1999), namun jika debitur menolak untuk memenuhinya, maka debitur harus terlebih dahulu mengupayakannya. keputusan pengadilan sebelum mengeksekusi. Temuan studi ini akan bermanfaat bagi pemerintah Indonesia ke depan agar lebih sistematis dan komprehensif dalam merumuskan undang-undang.