Sebagai salah satu komoditi energi yang bernilai strategis bagi kepentingan nasional, pengelolaan industri batubara mestinya mengacu pada Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat “UUD 1945”) yang mengamanatkan penguasaan negara atas sumber – sumber alam strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Paling sedikit 27 (dua puluh tujuh persen) persen dari total output energi dunia dan lebih dari 29% (dua puluh sembilan persen) dari seluruh listrik dihasilkan oleh pembangkit listrik bertenaga batubara karena kelimpahan jumlah batubara, proses ekstrasinya yang relatif mudah dan murah, dan persyaratan – persyaratan infrastruktur yang lebih murah dibandingkan dengan sumber daya energi lainnya Dalam transaksi jual – beli batubara untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum bagi Penjual dan Pembeli, maka diperlukan adanya sebuah ikatan hukum diantara Para Pihak, yaitu : Perjanjian. Masing – masing Pihak harus mendapatkan hak – haknya terlindungi secara hukum. Pentingnya perjanjian disepakati dari awal adalah untuk mencegah & meminimalisir potensi konflik yang terjadi diantara Para Pihak. Mengingat dalam perjalanan berbisnis jual – beli batubara, banyak hal kendala dan hambatan bagi masing – masing Pihak baik Pembeli maupun Penjual, maka sehingga diperlukan penelitian yang mendalam tentang bagaimana perlindungan hukum bagi Para Pihak dalam perjanjian yang bertujuan meminimalisir potensi konflik bagi Penjual dan Pembeli dalam berbisnis batubara. Serta jual – beli batubara ini diperlukan sebagai bahan bakar pembangkit listrik 35.000 MW. Terhadap potensi konflik sangat dipentingkan musyawarah mufakat, ciri pokok demokrasi Pancasila adalah musyawarah mufakat. Pemerintah sangat serius untuk mengembangkan pembangunan listrik 35.000 Megawatt. Langkah yang dilakukan adalah dengan memperbanyak pembangkit listrik untuk memastikan terwujudnya listrik 35.000 MW.