Program rekapitalisasi perbankan yang diputuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat krisis ekonomi berlangsung merupakan suatu langkah darurat yang tepat untuk memperbaiki sekaligus memperkuat struktur perekonomian negara berpenduduk lebih dari dua ratus juta orang ini. Dampak positif dari keberhasilan program tersebut tidak hanya diharapkan dapat dinikmati oleh sektor keuangan namun yang lebih penting harus mampu menggerakkan roda usaha pada sektor riil yang sudah sangat terpuruk akibat tingginya suku bunga dan tingkat fluktuasi nilai tukar mata uang. Peserta dari program rekapitalisasi tersebut adalah bank-bank nasional yang diseleksi terlebih dahulu oleh Bank Indonesia. Kriteria utama yang ditetapkan, selain dari angka-angka rasio kecukupan modal, adalah bank-bank tersebut harus mempunyai rencana usaha {business plari) yang jelas dan terprogram di waktu-waktu mendatang, seiring dengan standar/prinsip-prinsip perbankan yang berlaku secara internasional. Secara teoritis program ini diyakini mampu mewujudkan segala tujuan yang diharapkan, namun tidaklah demikian pada kenyataannya. Kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional yang mulai pulih setelah pcnutupan beberapa bank pada waktu lalu dan membaiknya struktur permodalan bank ternyata tidak cukup kuat untuk merangsang perbankan nasional meyalurkan kembali dana yang dihimpunnya dari masyarakat dalam bentuk kredit. Padahal dari penyaluran kredit inilah diharapkan sektor riil mampu bergerak lagi dan mampu berpengaruh positif terhadap faktor kehidupan lainya seperti keamanan dan sosial. Sektor riil yang kokoh, aktif dan dinamis akan dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar yang berarti mengurangi pengangguran, salah satu faktor yang ditengarai sebagai sumber utama membesarnya tingkat kriminalitas pada saat ini. Cita-cita yang diharapkan dari keberhasilan program rekapitalisasi ini ternyata masih membutuhkan waktu untuk mencapainya. Perbankan nasional ternyata memilih untuk "sangat berhati-hati" dalam berbisnis. Mereka lebih memilih instrumen investasi yang walaupun tingkat keuntungannya tidak besar namun risikonya rendah, seperti Sertifikat Bank Indonesia dan Pinjaman Antar Bank (dijamin pemerintah). Hal ini wajar dilakukan akibat trauma masa lalu yang belum hilang dan situasi maupun kondisi negara yang masih belum pasti walaupun telah tcrbcntuk pcmerintahan baru yang sah dan didukung rakyat (legitimate). Menyikapi perkembangan tersebut, penulis mencoba memberikan masukan melalui penulisan thesis ini. Dalam analisa kuantitatifnya, penulis melakukan suatu studi kasus berdasarkan laporan keuangan PT. Bank Lippo Tbk. yang dipublikasikan. PT. Bank Lippo Tbk. sendiri adalah bank pertama yang menjadi peserta program rekapitalisasi. Thesis ini berisikan dua pembahasan utama yakni pertama, penulis mencari tahu terlebih dahulu apakah pendayagunaan modal dan sumber dana bank sudah optimal atau belum; kedua, penulis memberikan solusi atas masalah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendayagunaan modal dan sumber dana oleh PT. Bank Lippo Tbk. belum optimal dan situasi ini juga hampir merata terjadi pada bank-bank peserta program rekapitalisasi. Atas dasar tersebut, penulis memberikan jalan keluar atau solusinya berupa rekomendasi atas sektor-sektor usaha beserta tingkatan pelaku pasar yang dianggap baik atau layak untuk diberikan fasilitas kredit. Selain itu, penulis juga memberikan pandangannya secara umum atas strategi ke depan yang dapat dilakukan bankbank peserta rekapitalisasi.