Secara historis, Undang-Undang Merek Indonesia Nomer 21 Tahun 1961 telah mengalami banyak perubahan dan terapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis. Saat ini Indonesia telah meratifikasi banyak konvensi internasional yang terkait dengan kekayaan intelektual, termasuk Konvensi Paris (Paris Convention), Perjanjian WTO tentang Aspek Terkait Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs), dan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Namun, terlepas dari kewajiban internasional, masih terdapat area abu-abu terkait apakah merek dilindungi secara hukum. Undang-Undang Merek saat ini hanya mengatur apa yang tidak dapat didaftarkan. Namun, belum ada kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan merek terkait budaya, dan apa yang dianggap dimiliki oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah berulang kali memberikan pendaftaran hak atas Merek yang memiliki makna budaya, atau dianggap sebagai domain publik. Penelitian ini membahas tentang perlindungan hukum merek terkait budaya, serta implementasi perlindungan hukum bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Pembahasan akan mencakup peraturan nasional dan konvensi internasional, serta kasus-kasus khusus seperti sengketa "Kopitiam" dan "Mendoan". Hasil penelitian menyimpulkan bahwa meskipun ada perlindungan hukum terhadap merek dagang terkait budaya di Indonesia, implementasinya masih kurang karena kurangnya pedoman yang komprehensif. Oleh karena itu Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus memperhatikan batasan pengertian merek terkait budaya dan milik publik. Hal itu penting untuk menghindari kemungkinan sengketa yang timbul karena kelalaiannya, memberikan pendaftaran perlindungan hukum untuk merek dagang terkait budaya dan merek milik publik.