Cryptocurrency memiliki fungsi yang mirip dengan mata uang tradisional, seperti kemampuan untuk berinvestasi, berdagang, dan membeli barang. Namun, perbedaan utama antara kedua mata uang ini terletak pada sistemnya. Mata uang tradisional sistemnya terpusat, yaitu memiliki bank sentral yang dapat memantau dan mengontrol penggunaannya, sementara cryptocurrency memiliki sistem yang tidak terpusat. Sistem terdesentralisasi cryptocurrency mendukung anonimitas para penggunanya selama mereka bertransaksi karena menggunakan teknologi blockchain dan sistem peer-to-peer. Keunggulan ini memungkinkan cryptocurrency disalahgunakan oleh penjahat untuk menciptakan metode pencucian uang yang lebih kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk memiliki pengetahuan lebih mengenai dampak alternative modus operandi untuk tindak pidana pencucian uang menggunakan cryptocurrency di Indonesia dan dampaknya terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang didefinisikan sebagai metode yang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan tertulis. Contoh yang digunakan adalah Bitcoin karena popularitasnya di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang layak untuk mengatasi alternative modus operandi untuk tindak pidana pencucian uang menggunakan cryptocurrency melalui Pasal 3, 4, dan 5 karena telah diatur dalam peraturan Bappebti No. 5 tahun 2019 & peraturan Bappebti No. 3 tahun 2019. Beberapa pencegahan alternative modus operandi yang terletak dalam kebijakan KYC dan AML Bappebti seperti harus melakukan penilaian risiko sebelum dapat memperdagangkan cryptocurrency. Namun, keberadaan undang-undang yang mengatur khusus tentang alternative modus operandi tersebut diperlukan untuk sepenuhnya mencakup sifat tindak pidananya.