Suatu perjanjian dapat batal jika dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kapasitas hukum, seperti orang yang tidak sadar atau tidak berdaya, anak di bawah umur, atau orang yang berada di bawah pengampuan. Penelitian ini dibuat untuk menganalisa keabsahan gugatan pembatalan pengampuan yang diajukan oleh seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan terhadap wali pengampunya ditinjau dari Teori Keadilan Bermartabat yang dikemukakan oleh Teguh Prasetyo. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kasus pada Putusan Nomor 1753/K/PDT/2005, dengan jenis penelitian normatif. Penelitian ini berfokus untuk mempelajari potensi masalah yang mungkin timbul ketika seorang yang ditempatkan di bawah pengampuan hukum merasa dirinya sehat dan orang tersebut merasa jika permohonan pengampuan hukum yang dilakukan oleh walinya dilandasi itikad tidak baik untuk menguasai hartanya. Sehingga demi mengembalikan kapasitas hukumnya, orang tersebut memintakan pembatalan status curatele-nya melalui gugatan terhadap walinya. Penelitian ini dibuat untuk menganalisis keabsahan gugatan seseorang yang di tempatkan dalam pengampuan terhadap walinya. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis Putusan Nomor 1753/K/PDT/2005. Pada kasus tersebut, gugatan curatele telah ditolak pada tahap pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, akan tetapi gugatannya telah dimenangkan oleh Mahkamah Agung Indonesia. Atas kemengannya penepatan curatele penggugat dibatalkan dan tergugat yang merupakan walinya dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan jika gugatan yang diajukan oleh kurandus terhadap wali pengampu adalah sah dan sahnya gugatan tersebut sesuai dengan konsep dan ide yang ada di teori Keadilan Bermartabat dan seorang eks-kurandus yang merasa dirugikan oleh eks-walinya, ekskurandus dapat mengajukan upaya hukum berupa gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum.