The end of the New Order era was colored with democracy and freedom of speech. However, as the civil society enjoys their newly found freedom of speech, so did Islamic Revivalist Movement. One of the most organized Islamic Revivalist Movement in Indonesia is Hizbut Tahrir Indonesia. The movement continuously propagate khilafah as their proposed solution to the issues that plagued Indonesia and declared capitalism as their enemy. Thus, the state established Perppu No. 2 regarding Social Organization in 2017 and dissolved Hizbut Tahrir Indonesia. However, individuals spreading the teaching of khilafah still exists in micro-level, invoking religious identity sentiment towards the civil society and moving masses to rally against the state under Indonesia President-elect Joko Widodo, whom they labeled as the embodiment of ‘westernized’, dzolim leader that do not engage with the civil society’s concerns. This thesis discusses the era that follows the shift of actions conducted by micro-level organizations created under Hizbut Tahrir Indonesia’s wings towards the state after the establishment Perppu No. 2. This thesis uses qualitative approach with descriptive and secondary data analysis methodology. The concepts include identity politics, globalization from below, globalization of ideas and transnational Islam. The result of this thesis has showcased that after the establishment of Perppu No. 2, these Hizbut Tahrir Indonesia’s micro-level movements has continued the struggle by adopting smaller issues to discuss which eventually leads the struggle against democracy and capitalist model taken by Indonesia. As a response, Indonesia, despite being a majority Muslim country, being unable to adopt the khilafah system has taken several measures to compromise with Islamic Revivalist Movements interest, therefore, the state has been forced to take an even more coercive measures to suppress the development of these micro-level movements under Joko Widodo 2nd term of presidency. / Akhir dari era Orde Baru diwarnai dengan demokrasi dan kebebasan berbicara. Namun, ketika masyarakat sipil menikmati kebebasan berbicara yang baru mereka temukan, demikian pula Gerakan Revivalis Islam. Salah satu gerakan yang ada di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Gerakan ini berkembang cepat secara terorganisir di Indonesia dan terus menyerukan kembalinya ke khilafah sebagai solusi untuk masalah multidimensi yang merusak Indonesia dan mengecap model demokrasi dan kapitalis sebagai musuh bagi umat Islam. Dengan demikian, negara mengeluarkan Perppu No. 2 tentang Organisasi Masyarakat pada tahun 2017 dan secara resmi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Namun, orang-orang yang menyebarkan ajaran khilafah masih ada di tingkat mikro, menggunakan sentimen agama untuk menggerakkan massa melawan negara di bawah Presiden terpilih Indonesia Joko Widodo, yang dianggap 'kebarat-baratan', dzolim dan tidak mendengarkan keprihatinan masyarakat sipil. Penelitian ini membahas era setelah pembentukan Perppu No. 2 tentang Organisasi Sosial mengenai tindakan yang dilakukan oleh organisasi tingkat mikro yang dibuat di bawah sayap Hizbut Tahrir Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metodologi analisis data deskriptif dan sekunder. Konsep-konsepnya termasuk politik identitas, globalisasi dari bawah, globalisasi pemikiran dan Islam transnasional. Hasil dari tesis ini menunjukkan bahwa setelah pembentukan Perppu No. 2, gerakan-gerakan tingkat mikro Hizbut Tahrir Indonesia ini terus melanjutkan perjuangan dengan mengadopsi isu-isu yang lebih kecil untuk dibahas yang akhirnya mengarah pada perjuangan melawan demokrasi dan model kapitalis yang digunakan oleh Indonesia. Sebagai tanggapan, Indonesia, meskipun merupakan negara mayoritas Muslim, tidak dapat mengadopsi sistem khilafah dan telah mengambil beberapa langkah untuk berkompromi dengan kepentingan Gerakan Revivalis Islam, terpaksa untuk mengambil tindakan keras untuk menekan berkembangnya gerakan tingkat mikro ini di bawah masa jabatan presiden Joko Widodo yang kedua.