Ketidakharmonisan hierarki perundang-undangan khususnya pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH No. 32/2009) terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP No. 22/2021) mengakibatkan terjadinya konflik norma, terkait pengaturan dan pencabutan fly ash dan bottom ash (FABA) dari kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Konflik norma ini menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga berdampak pada penerapan hukum dan mengakibatkan penegak hukum menghadapi tantangan dalam membuktikan unsur kesalahan korporasi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan analisis kasus PT Sinerga Nusantara Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PP No. 22/2021 tidak sepenuhnya selaras dengan prinsip kehati-hatian dalam UUPLH No. 32/2009. Kasus ini mencerminkan kompleksitas hukum, di mana hakim harus mempertimbangkan dan menerapkan asas lex superior derogat legi inferiori untuk menegakkan keadilan dan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam hukum lingkungan. Tesis ini merekomendasikan revisi dan harmonisasi regulasi serta penguatan penegakan hukum dengan berfokus pada pengawasan yang transparan dan akuntabel. Rekomendasi ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan serta melindungi hak pelaku usaha dan masyarakat sesuai amanat konstitusi. / Disharmony in the legal hierarchy, especially in Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management (UUPLH No. 32/2009) with Government Regulation Number 22 of 2021 concerning Implementation of Environmental Protection and Management (PP No. 22/2021) resulting in a conflict of norms, regarding the regulation and removal of fly ash and bottom ash (FABA) from the category of Hazardous and Toxic Waste (B3). This conflict of norms creates legal uncertainty, which has an impact on the application of the law and causes law enforcers to face challenges in proving elements of corporate wrongdoing. This research uses a normative juridical method with a statutory regulation approach and case analysis of PT Sinerga Nusantara Indonesia. The research results show that PP no. 22/2021 is not fully in line with the precautionary principle in UUPLH No. 32/2009. This case reflects the complexity of the law, where judges must consider and apply the principle of lex superior derogat legi inferiori to uphold justice and prioritize the precautionary principle in environmental law. This thesis recommends revision and harmonization of regulations as well as strengthening law enforcement by focusing on transparent and accountable supervision. The recommendations are expected to provide legal certainty and justice as well as protect the rights of business actors and the community in accordance with the constitutional mandate.