Relabeling merupakan praktik pelabelan ulang pada suatu produk. Relabeling sendiri merupakan hal positif, karena salah satu bentuk strategi bisnis untuk memperbarui inovasi suatu produk. Namun praktik relabeling juga dapat menjadi hal negatif, ketika praktik ini dilakukan oleh suatu oknum pelaku usaha untuk mendapat keuntungan pribadi. Praktik relabeling tanpa izin yang dilakukan pelaku usaha Hamlin yang merugikan konsumen, menunjukkan bahwa praktik relabeling tanpa izin dapat merugikan pihak lain. Di Indonesia sendiri, belum ada regulasi yang mengatur secara khusus mengenai praktik relabeling. Sehingga sulit mengidentifikasi bagaimana bentuk pelanggaran hukum dan mekanisme pertanggungjawaban terhadap praktik relabeling tanpa izin. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris kategori Non-Judicial Case Study dengan bahan hukum pustaka yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan penelitian menggunakan jenis pendekatan konsep (Conceptual Approach) dan pendekatan Undang-Undang (Statutes Approach). Hasil penelitian menunjukan bahwa praktik relabeling dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata, karena memenuhi unsur-unsur PMH. Praktik relabeling mengakibatkan penyesatan terhadap harga dan kualitas barang. Hal tersebut menyalahi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f dan Pasal 10 huruf a UU Perlindungan Konsumen. Penyelesaian sengketa yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa Hamlin dan konsumen, yakni menggunakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi. Dari hasil mediasi ini Hamlin dapat bertanggung jawab kepada konsumen dengan memberikan kompensasi ganti rugi berupa pengembalian dana, permohonan maaf resmi dan penghentian praktik relabeling tanpa izin oleh Hamlin / Relabeling is the practice of re-labeling a product. Relabeling itself is a positive thing, because it is a form of business strategy to update the innovation of a product. However, the practice of relabeling can also be a negative thing, when this practice is carried out by a business actor for personal gain. The practice of relabeling without permission carried out by Hamlin business actors which is detrimental to consumers, shows that the practice of relabeling without permission can harm other parties. In Indonesia itself, there are no regulations that specifically regulate relabeling practices. So it is difficult to identify legal violations and accountability mechanisms for relabeling practices without permission. This research uses normative empirical research methods in the Non-Judicial Case Study category with library legal materials sourced from primary, secondary and tertiary legal materials. The research approach uses a conceptual approach and a statutory approach. The research results show that the practice of relabeling can be categorized as a form of unlawful act in Article 1365 of the Civil Code, because it fulfills the elements of PMH. The practice of relabeling results in misdirection of the price and quality of goods. This violates the provisions in Article 8 paragraph (1) letter f and Article 10 letter a of the Consumer Protection Law. The dispute resolution used to resolve disputes between Hamlin and consumers is using dispute resolution outside of court through mediation. From the results of this mediation, Hamlin can be responsible to consumers by providing compensation in the form of a refund, an official apology and a halt to Hamlin's practice of relabeling without permission