Perkembangan peradaban manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada teknologi komunikasi dan informasi telah memudahkan masyarakat dalam mendapatkan informasi. Salah satu contoh percepatan pertukaran informasi pada sisi perpajakan adalah hadirnya Automatic Exhange of Information (AEoI). Praktik tax avoidance yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu demi mencari keutungan merupakan misi atau tujuan utama sistem AEoI diadakan dengan harapan praktik tersebut dapat berkurang atau termitigasi. Keberadaan sistem AEoI ini memerlukan sebuah kepastian perlindungan data pribadi di Indonesia atau adanya instrumen hukum yang responsif pada era global, mengingat cepatnya pertukaran informasi dapat menyebabkan pelanggaran kerahasiaan atau bahkan penyalahgunaan dalam penggunaan data yang diperoleh. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif dengan fokus analisis hukum kepustakaan, penelusuran bahan-bahan hukum dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan literatur. Indonesia telah mengundangkan UU No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (dikenal sebagai UU PDP) pada tahun 2022, dan berlaku efektif per Oktober 2024. Penyusunan UU PDP sendiri berkaca dari golden standard pengaturan perlindungan data yaitu General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa. Namun, keefektifan penerapan perlindungan data pribadi bukan semata dari ketatnya peraturan, melainkan dengan adanya lembaga pengawas perlindugan data pribadi serta penyusunan aturan yang mengutamakan keadilan bagi subjek data pribadi. Pengaturan perlindungan data pribadi di Singapura yang diatur melalui Personal Data Protection Act (PDPA), walau regulasi tersebut tidak seketat UU PDP ataupun GDPR akan tetapi pelaksanaan dapat berjalan dengan baik dengan adanya lembaga pengawas atau dikenal sebagai Personal Data Protection Commission (PDPC)