Konflik Maluku yang terjadi pada tahun 1999 hingga awal 2000 merupakan konflik sosial dengan latar belakang agama terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Konflik ini selain menyebabkan korban jiwa, kerugian material yang tidak terhitung jumlahnya, juga menyebabkan terjadinya segregasi wilayah antara dua kelompok agama yang berbeda. Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku yang tayang tahun 2014 silam mengangkat kisah nyata tersebut juga menggambarkan upaya-upaya perdamaian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Maluku salah satunya Sani Tawainella dalam menyerukan perdamaian melalui sepak bola Penelitian ini mengkaji representasi upaya perdamaian yang dilakukan tokoh-tokoh Maluku salah satunya Sani Tawainella dalam film Cahaya dari “Timur: Beta Maluku”(2014) menggunakan kerangka semiotika Charles Sanders Peirce. Sebagai karya sinema yang berakar pada konteks konflik Maluku (1999– 2002), film ini menjadi medium untuk mempromosikan rekonsiliasi dan harmoni antaragama. Penelitian ini berfokus pada bagaimana film tersebut menggunakan tanda, simbol, dan strategi komunikasi persuasif untuk memengaruhi sikap dan pandangan penonton terhadap pembangunan perdamaian. Dengan menerapkan model triadik Peirce (representamen, objek, interpretan), analisis dilakukan pada elemen visual, verbal, dan naratif utama yang menyampaikan pesan persatuan dan empati. Temuan menunjukkan bahwa film ini berhasil mengubah ketegangan sosial-keagamaan menjadi narasi kolektif yang penuh harapan, di mana nilai-nilai seperti solidaritas dan saling menghormati menjadi sorotan utama. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji peran daya tarik emosional dan etis dalam mendorong perubahan perilaku positif pada audiens. / The Maluku conflict that occurred from 1999 to early 2000 was the largest social conflict with a religious background ever to take place in Indonesia. In addition to causing casualties and incalculable material losses, the conflict also led to the segregation of areas between two different religious groups. The 2014 film Cahaya dari Timur: Beta Maluku portrays this real-life event and illustrates the peace efforts carried out by Maluku figures, including Sani Tawainella, who advocated for reconciliation through football. This study examines the representation of peace efforts undertaken by Maluku figures, particularly Sani Tawainella, in the film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) using the semiotic framework of Charles Sanders Peirce. As a cinematic work rooted in the context of the Maluku conflict (1999–2002), this film serves as a medium for promoting reconciliation and interfaith harmony. The study focuses on how the film employs signs, symbols, and persuasive communication strategies to influence the audience’s attitudes and perspectives on peacebuilding. By applying Peirce’s triadic model (representamen, object, interpretant), the analysis is conducted on key visual, verbal, and narrative elements that convey messages of unity and empathy. The findings indicate that the film successfully transforms social-religious tensions into a collective narrative of hope, highlighting values such as solidarity and mutual respect. Additionally, this study explores the role of emotional and ethical appeal in fostering positive behavioral change among audiences.