Perkembangan kawasan urban di Jakarta Utara telah membawa dampak signifikan terhadap pola hidup masyarakat dan keberadaan warisan budaya lokal, termasuk di Kampung Tugu yang merupakan salah satu permukiman tertua dengan sejarah akulturasi antara budaya Betawi dan Portugis. Identitas budaya yang semakin tergerus oleh modernisasi, serta minimnya upaya pelestarian dan perhatian terhadap potensi kawasan ini menuntut adanya upaya nyata dan terarah. Untuk itu, perancangan living experience berupa eco-homestay dihadirkan sebagai bagian dari strategi pengembangan Kampung Tugu menjadi kawasan desa wisata berbasis budaya dan komunitas yang ramah lingkungan serta berkelanjutan. Perancangan menggunakan metode pendekatan naratif dan multi-sensori guna menghadirkan pengalaman tinggal yang imersif, bermakna, dan emosional. Pendekatan naratif memungkinkan ruang-ruang dirancang sebagai alur cerita yang merefleksikan sejarah dan budaya masyarakat Tugu, sehingga wisatawan dapat merasakan dan memahami latar belakang budaya yang diangkat. Sementara itu, pendekatan multi-sensori diterapkan untuk memperkaya pengalaman pengunjung dengan mengoptimalkan elemen-elemen desain yang melibatkan indra visual, auditori, olfaktori, taktil, gustatori, dan gerakan. Oleh karena itu, perancangan mengangkat tema “Kampoeng Halaman: Celebrating Traditions and Togetherness” yang berakar pada identitas budaya, perjalanan sejarah, cara hidup, dan nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat Tugu. Konsep ini memungkinkan wisatawan merasakan, memahami, dan mengalami secara langsung keseharian masyarakat Tugu. Dengan demikian, perancangan eco-homestay dapat menjadi sarana edukasi, rekreasi, dan pelestarian budaya, sekaligus meningkatkan daya tarik wisata berbasis budaya, tidak hanya bagi wisatawan lokal tetapi juga mancanegara.