Dalam praktik hukum di Indonesia, status keabsahan seorang anak sangat bergantung pada pengakuan hukum terhadap perkawinan orang tuanya. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang diakui secara hukum. Namun, banyak perkawinan di Indonesia yang hanya dilakukan menurut agama tanpa pencatatan resmi di negara, yakni nikah siri. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut dianggap sebagai anak luar kawin dan menurut hukum hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 43 UU Perkawinan dan Pasal 832 KUH Perdata. Hal ini menyebabkan anak kehilangan hak-hak penting, termasuk hak mewaris dari ayah kandungnya. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 menjadi tonggak penting karena memberikan peluang bagi anak luar kawin untuk memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, selama dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan atau alat bukti hukum lainnya. Namun, ketiadaan peraturan pelaksana membuat implementasi putusan ini tidak merata dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses pembuktian yang bersifat teknis dan mahal juga menjadi kendala bagi banyak pihak. Oleh karena itu, penelitian ini menekankan urgensi penyusunan peraturan pelaksana yang tegas dan menyeluruh agar hak-hak anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan dapat diakui dan dilindungi secara setara guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi semua anak tanpa terkecuali. / In Indonesian legal practice, a child’s legitimacy is strongly linked to the legal status of their parents’ marriage. According to Article 42 of the Marriage Law, a legitimate child is one born within a legally recognized marriage. However, many marriages in Indonesia, known as nikah siri, are only conducted religiously without state registration. Children from such unions are considered illegitimate and legally connected only to their mothers and maternal families, as stated in Article 43 of the Marriage Law and Article 832 of the Indonesian Civil Code. This limits their legal rights, including inheritance from their biological fathers. The Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010 marked a turning point, allowing children born outside registered marriages to claim civil relations with their biological fathers if supported by valid scientific or other legal evidence. Nevertheless, the absence of clear implementing regulations has led to inconsistent application and legal uncertainty. The scientific procedures required present a significant barrier for many to afford. This study emphasizes the urgent need for specific and comprehensive implementing regulations to bridge the gap between legal theory and practice, ensuring equal protection and inheritance rights for all children, regardless of their parents' marital status.