Fenomena fraud dalam laporan keuangan yang dilakukan oleh debitur telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kasus kredit macet di sektor perbankan Indonesia. Kasus-kasus seperti SNP Finance, PT Tirta Amarta Bottling, dan e-Fishery menunjukkan bagaimana manipulasi data keuangan berdampak besar terhadap kerugian lembaga keuangan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Latar belakang ini mendorong pentingnya kajian terhadap pertanggungjawaban hukum debitur dalam konteks wanprestasi yang disebabkan oleh tindakan fraud. Permasalahan utama dalam tesis ini adalah: (1) bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang diajukan dengan cara fraud; dan (2) bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum debitur atas fraud dalam proses kredit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kejelasan mengenai kedudukan hukum perjanjian kredit yang mengandung fraud serta mengidentifikasi bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat dikenakan kepada debitur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan doktrinal. Sumber data utama berasal dari bahan hukum primer seperti KUH Perdata dan peraturan OJK, serta bahan hukum sekunder dari literatur akademik dan wawancara dengan praktisi perbankan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraud dalam proses pengajuan kredit menyebabkan cacatnya perjanjian sejak awal, sehingga perjanjian dapat dibatalkan dan menimbulkan akibat hukum baik secara perdata maupun pidana. Debitur dapat dimintai pertanggungjawaban atas dasar wanprestasi (Pasal 1243 KUH Perdata) dan/atau perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Dalam praktiknya, bank lebih sering menempuh jalur pidana, padahal mekanisme perdata perlu dioptimalkan agar kerugian bank dapat dipulihkan secara efektif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa fraud yang dilakukan debitur dalam pengajuan kredit mencederai asas kepercayaan dan prinsip kehati-hatian dalam perbankan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan regulasi, optimalisasi upaya hukum perdata, dan peningkatan sistem pengawasan serta due diligence untuk mencegah kerugian yang lebih besar di sektor perbankan. / The phenomenon of financial statement fraud committed by debtors has become a major cause of increasing non-performing loans in Indonesia’s banking sector. Cases such as SNP Finance, PT Tirta Amarta Bottling, and e-Fishery demonstrate how financial data manipulation leads to substantial institutional losses and erodes public trust in the banking system. This background highlights the importance of examining the legal liability of debtors in cases of default caused by fraud. This thesis addresses two main issues: (1) what are the legal consequences of loan agreements submitted through fraudulent means; and (2) what forms of legal liability can be imposed on debtors who commit fraud during the loan process. The objective is to clarify the legal standing of fraudulent loan agreements and to identify the applicable legal responsibilities of debtors according to Indonesian law. This research employs a normative legal method using statutory, conceptual, and doctrinal approaches. Primary sources include the Indonesian Civil Code and OJK regulations, supported by academic literature and interviews with banking practitioners. The findings indicate that fraud in credit applications renders the loan agreement legally defective from the outset, enabling its annulment and triggering civil and criminal consequences. Debtors may be held liable under default provisions (Article 1243 of the Civil Code) and/or tort liability (Article 1365 of the Civil Code). In practice, banks often pursue criminal charges, though civil remedies should be optimized to facilitate financial recovery. The study concludes that debtor fraud in credit applications undermines fiduciary principles and prudent banking standards. Therefore, regulatory strengthening, optimized civil enforcement, and improved internal controls and due diligence are necessary to prevent greater losses within the banking industry.