Cukup banyaknya jumlah pendaftaran merek yang ditolak dengan alasan memiliki persamaan baik pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek lain yang telah terdaftar lebih dahulu, kerap kali menimbulkan sengketa antara pemilik merek, terlebih jika salah satu merek telah memiliki reputasi yang baik di dalam masyarakat. Atas masalah ini, Perjanjian Koeksistensi Merek dapat menjadi salah satu solusi dimana para pihak dengan merek yang memiliki unsur persamaan dapat menyepakati hal-hal terkait penggunaan masing-masing mereknya. Namun, permasalahan lainnya muncul dikarenakan konsep koeksistensi merek dengan menggunakan Perjanjian Koeksistensi Merek maupun Surat Persetujuan (Letter of Consent / LOC) belum diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG). Penelitian ini mengkaji landasan hukum untuk pendaftaran merek yang berlaku di Indonesia, contoh penggunaan konsep koeksistensi merek di beberapa negara, mengevaluasi efektivitas dan tantangan hukum yang timbul akibat belum diaturnya secara eksplisit mekanisme koeksistensi merek di UU MIG, serta mengevaluasi dampak atau konsekuensi hukum yang dapat timbul apabila pemilik merek memutuskan untuk membuat perjanjian tersebut dengan pihak lain yang memiliki merek dengan unsur persamaan. Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun Perjanjian Koeksistensi Merek dan LOC telah digunakan dalam praktik, namun belum adanya pengaturan hukum yang tegas mengenai Perjanjian Koeksistensi Merek dan LOC dalam sistem hukum merek di Indonesia menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat menghambat perlindungan hak merek serta aktivitas bisnis yang berbasis iktikad baik. Pengakuan dan pengaturan yang jelas terhadap kedua instrumen ini sangat diperlukan guna menciptakan kepastian hukum, melindungi konsumen, dan memperkuat sistem perlindungan kekayaan intelektual nasional. / The significant number of trademark registration applications rejected due to substantial or overall similarity with previously registered trademarks often leads to disputes between trademark owners, especially when one of the trademarks has already gained a strong reputation in public. To address this issue, a Trademark Coexistence Agreement can serve as a potential solution, allowing parties with similar trademark elements to mutually agree on the terms of use for their respective marks. However, a major challenge arises from the fact that the concept of trademark coexistence through such agreements or Letters of Consent (LOC) is not explicitly regulated under Law Number 20 of 2016 on Trademarks and Geographical Indications (UU MIG). This study examines the legal basis for trademark registration in Indonesia, explores the application of trademark coexistence in several other countries, evaluates the effectiveness and legal challenges resulting from the absence of clear provisions in the UU MIG, and analyzes the potential legal implications for trademark owners who enter into such agreements with other parties holding similar trademarks. The research employs a normative-empirical legal method. The findings indicate that although Trademark Coexistence Agreements and LOCs have been applied in practice, the lack of clear legal recognition within Indonesia’s trademark system results in legal uncertainty and may hinder the protection of trademark rights and the business activities of parties acting in good faith. Therefore, formal recognition and regulation of these instruments are essential to ensure legal certainty, protect consumer interests, and strengthen the national intellectual property protection system.