This research discusses the legal status of State-Owned Enterprises (SOEs) that have been privatized but continue to hold monopoly rights in strategic sectors. Article 33 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia provides a constitutional foundation for the state to control key sectors of production for the welfare of the people, including through SOEs. However, following privatization either partially or entirely, legal issues arise concerning the legitimacy of monopoly rights retained by entities that are no longer fully state-owned. This issue is analyzed with reference to Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, particularly in relation to the legally permitted exceptions to monopolies. The research uses a normative juridical method by reviewing statutory regulations, legal doctrines, and relevant court decisions, which are systematically analyzed to identify and understand the legal position of privatized SOEs. The findings reveal that privatized SOEs are no longer under full state control, and thus no longer meet the criteria for exemption as stipulated in Article 51 of Law Number 5 of 1999. Furthermore, a legal vacuum exists regarding the legal status and asset ownership of SOEs post-privatization, resulting in disharmony between the application of public and private legal regimes. Therefore, the study recommends the establishment of more specific and stringent implementing regulations to define which strategic sectors must remain under state control and to set clear limitations on the authority of privatized SOEs in exercising monopoly rights, in order to ensure consistency with the principles of fair business competition and the constitutional mandate outlined in Article 33 of the 1945 Constitution. / Penelitian ini membahas kedudukan hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diprivatisasi namun masih memegang hak monopoli dalam sektor strategis. Pasal 33 UUD 1945 memberikan dasar konstitusional bagi negara untuk menguasai cabang produksi penting demi kemakmuran rakyat, termasuk melalui BUMN. Namun, setelah privatisasi, timbul persoalan hukum mengenai keabsahan monopoli yang dijalankan oleh entitas yang tidak lagi sepenuhnya dimiliki negara. Permasalahan ini dianalisis dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya dalam kaitannya dengan pengecualian monopoli yang diperkenankan secara hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menelaah peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan putusan lembaga peradilan terkait, serta dikaji secara sistematis untuk menemukan dan mengetahui kedudukan hukum BUMN yang telah mengalami privatisasi. Penelitian ini menemukan bahwa BUMN yang telah diprivatisasi tidak lagi sepenuhnya berada dalam penguasaan negara, sehingga kehilangan karakteristik sebagai objek pengecualian dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lebih lanjut, terdapat kekosongan hukum terkait kedudukan hukum dan status kekayaan BUMN pasca privatisasi, yang menimbulkan ketidakharmonisan antara rezim hukum publik dan hukum privat dalam pengaturannya. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi turunan yang lebih tegas mengenai sektor strategis yang tidak boleh diprivatisasi, serta pembatasan kewenangan BUMN yang telah diprivatisasi agar sejalan dengan prinsip persaingan usaha sehat dan amanat konstitusi berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.