Undang-Undang ITE pada praktiknya, sering kali digunakan dalam rangka menjerat seseorang dengan dalih melakukan hate speech atau hoax. Hal tersebut tak terkecuali pada para aktivis yang dalam penelitian ini berfokus pada pejuang hak atas lingkungan hidup yang melakukan kritik dalam rangka memperjuangkan hak atas lingkungan di Pantai Cemara Karimunjawa yang telah berlarut-larut tercemar akibat limbah dari tambak udang ilegal. Akibat dari kritiknya tersebut, Pengadilan Negeri Jepara Nomor 14/Pid.Sus/2024/PN.Jpa memvonis hukuman pidana Tujuh Bulan penjara dan denda Rp5.000.000,- atas perbuatan yang dianggap ujaran kebencian. Bedasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimana perlindungan hukum terhadap pejuang hak lingkungan hidup yang divonis pidana berdasarkan Undang-Undang ITE? dan Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak lingkungan hidup yang berkelanjutan di media sosial?. Metode penelitian ini, menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Data penelitian ialah data sekunder dengan cara pengumpulan studi kepustakaan yang didukung bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini Pertama, Perlindungan hukum terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup yang divonis pidana berdasarkan Undang-Undang ITE ialah dengan menerapkan konsep Anti SLAPP yang ada pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 jo. Pasal 77 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023, untuk Daniel Fritz sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup. Sementara Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, dapat digunakan untuk melindungi Daniel Frits yang melakukan kritik dengan gaya bahasa sarkas di Media Sosial. Kedua, Perlindungan hukum terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup yang berkelanjutan di media sosial pada dasarnya telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 dan terbaru ada pula Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024. Untuk kebebasan bereskpresi telah diatur pada Pasal 28, 28 E ayat (2) dan (3), dan 28 F UUD 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan UU ITE. / In practice, the ITE Law is often used to ensnare someone on the pretext of making hate speech or hoaxes. This is no exception for activists who in this study focus on environmental rights fighters who criticize in order to fight for environmental rights in Pantai Cemara Karimunjawa which has been polluted for a long time due to waste from illegal shrimp ponds. As a result of his criticism, the Jepara District Court Number 14/Pid.Sus/2024/PN.Jpa finally sentenced him to seven months in prison and a fine of Rp5,000,000 for actions considered hate speech. Based on this background, the formulation of the problem in this study is How is the legal protection for environmental rights struggles that are sentenced to criminal penalties based on the Electronic Information and Transactions Law (ITE)? and How is the legal protection for sustainable environmental rights on social media?. This research method uses a normative legal research type with a statutory approach and a case approach. The research data is secondary by collecting literature studies supported by primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this study First, Legal protection for environmental rights activists who are sentenced to criminal penalties under the ITE Law is by applying the Anti-SLAPP concept contained in Article 66 of Law Number 32 of 2009 in conjunction with Article 77 of the Supreme Court Regulation Number 1 of 2023, for Daniel Fritz as an environmental rights activist. Meanwhile, the Human Rights Law and the Freedom of Expression Law can be used to protect Daniel Frits who criticizes with a sarcastic style of language on Social Media. Second, legal protection for environmental rights activists on social media is basically contained in Law Number 32 of 2009, Supreme Court Regulation Number 1 of 2023 and most recently the Regulation of the Minister of Environment and Forestry Number 10 of 2024. Freedom of expression has been regulated in Article 28, 28 E paragraphs (2) and (3), and 28 F of the 1945 Constitution, the Human Rights Law, and the ITE Law.