Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana komunitas fandom K-pop merespons kebijakan budaya Presiden Korea Selatan melalui platform Twitter dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough. Sebagai kelompok sosial yang aktif dan terorganisir, fandom K-pop tidak hanya menjadi konsumen budaya, tetapi juga berperan sebagai aktor politik-kultural yang mampu memobilisasi opini publik dalam ranah digital. Dalam konteks kebijakan budaya Presiden Yoon Suk-yeol yang menuai pro dan kontra, komunitas fandom menunjukkan pola komunikasi yang kompleks, reflektif, dan penuh makna simbolik. Data dalam penelitian ini diperoleh dari kumpulan cuitan viral yang mewakili respons fandom K-pop terhadap isu-isu politik dan kebijakan budaya Korea Selatan, khususnya yang berkaitan dengan identitas nasional, sensor budaya, dan kebebasan berekspresi. Analisis dilakukan dengan menelusuri tiga dimensi utama dalam kerangka Fairclough, yaitu dimensi teks (linguistik), praktik wacana (produksi dan konsumsi pesan), serta praktik sosial (struktur kekuasaan dan ideologi yang melandasinya). Hasil temuan menunjukkan bahwa fandom K-pop memproduksi wacana perlawanan yang subtil namun kuat melalui simbol-simbol populer seperti lagu, light stick, dan kutipan artis, serta mereposisi ruang digital sebagai arena politik alternatif yang membingkai ulang relasi antara negara, warga, dan budaya populer. Penelitian ini menegaskan bahwa komunikasi politik kontemporer tidak dapat dilepaskan dari dinamika budaya populer dan peran aktif komunitas digital sebagai produsen makna. / This study aims to analyze how the K-pop fandom community responds to the South Korean President’s cultural policies through the Twitter platform, using Norman Fairclough’s Critical Discourse Analysis approach. As an active and organized social group, K-pop fandoms are not merely cultural consumers but also political-cultural actors capable of mobilizing public opinion in the digital sphere. In the context of President Yoon Suk-yeol’s cultural policies—which have sparked both support and opposition the fandom community demonstrates complex, reflective, and symbolically rich communication patterns. The data in this study were gathered from viral tweets representing K-pop fandom responses to political issues and cultural policies in South Korea, particularly those related to national identity, cultural censorship, and freedom of expression. The analysis traces three main dimensions of Fairclough’s framework: textual (linguistic features), discursive practice (message production and consumption), and social practice (underlying power structures and ideologies). The findings reveal that K-pop fandoms produce subtle yet powerful resistance discourses through popular symbols such as songs, light sticks, and artist quotes, while also repositioning digital spaces as alternative political arenas that reframe the relationship between the state, citizens, and popular culture. This study underscores that contemporary political communication is inseparable from the dynamics of popular culture and the active role of digital communities as producers of meaning.