E-commerce didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang dilakukan melalui internet Faktanya tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku usaha sering berkompetisi dalam menghasilkan keuntungan dan pendapatan dan terkadang, hal itu dapat mendorong pelaku usaha melakukan eksploitasi terhadap konsumennya. Kecenderungan pelaku usaha untuk mengeksploitasi hal ini membuat posisi pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan menempatkan konsumen dalam posisi lemah. Teori ini dikenal sebagai Teori Informasi Asimetri. Oleh karena itu, Perlindungan Konsumen harus ditegakkan. Perlindungan konsumen diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan e-commerce diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Masalah hukum utama untuk perlindungan konsumen di transaksi e-commerce saat ini masih belum ada mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas bagi konsumen e-commerce. Selain itu, masih belum ada peraturan yang jelas mengenai sertifikasi penjual di Indonesia dan ini menyebabkan kebingungan pada penjual dimana dan bagaimana menerapkan sertifikasi mereka. Selanjutnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, bahwa "setiap pelaku usaha yang melakukan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang andal. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan dan wajib mengajukan sertifikat, sedangkan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menetapkan bahwa Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi hak pelanggan, sehingga bertentangan dengan ketidakpastian Pasal 10 ditunjukkan dengan menggunakan kata "dapat disertifikasi".