Deliberation to achieve consensus as a legal culture to solve problems has been rooted in Indonesian culture. However in reality the legal culture is remain often tobe overlooked in the settlement of business contract through arbitration. This study aims to addres 3 (three) legal problems, firstly, how the legal culture of consensus to acclaim as a joint or value in the philosophy of Pancasila affects the formulation of the norms of arbitration law; second, how the implementation of legal culture of consensus for acclamations as one of the joints or values in the foundation of Pancasila state philosophy in the dispute of business contract; and thirdly, how to revitalize the legal culture of deliberation for consensus in the policy of arranging the dispute settlement of business contract through arbitration. This research is normative legal research, that is using secondary data. conclusion of the analysis can be summerized as follows, first, the legal culture of consensus to consensus as the value of Pancasila not fully underlying and affect the formulation of the norms of arbitration law in Law no. 30 of 1999. The legal culture of musyawarah for consensus should be used as a parameter to perfect the formulation of the substance of legal norms and procedural aspects. Second, a large number of indigenous peoples and social communities that still apply and preserve the noble values, traditions and local wisdom can be a force affecting the attitude of the community to be reluctant to dispute let alone through formal institutions in court. Third, future arbitration requires a revision of substantive norms and procedural provisions that can reinforce the legal culture of deliberation for consensus. Revisions must be based solely on the soul and culture of the law, local wisdom excavated from law and practice by customary institutions, such as the principle of harmony, deliberation for consensus is the truth of truth, mutual cooperation, mutual respect, upholding, value -balance of balance and harmonization, and carry out what has been agreed upon. / Musyawarah untuk mencapai mufakat sebagai budaya hukum untuk menyelesaikan permasalahan sosial telah berakar dalam budaya Indonesia. Namun kenyataannya budaya hukum seperti itu masih sering diabaikan dalam proses penyelesaian sengketa kontrak bisnis melalui arbitrase. Dengan latar belakang itu, penelitian ini disusun dengan tujuan untuk menjawab tiga permasalahan berdimensi hukum, yakni pertama, bagaimana budaya hukum musyawarah untuk mufakat sebagai sendi atau nilai dalam falsafah Pancasila mempengaruhi perumusan norma hukum arbitrase; kedua, bagaimana implementasi budaya hukum musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu sendi atau nilai dalam landasan falsafah negara Pancasila dalam proses penyelesaian sengketa kontrak bisnis; dan ketiga, bagaimana merevitalisasi budaya hukum musyawarah untuk mufakat dalam kebijakan pengaturan penyelesaian sengketa kontrak bisnis melalui arbitrase. Dari segi metodologi, penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan, pertama, budaya hukum musyawarah untuk mufakat sebagai nilai Pancasila belum sepenuhnya melandasi dan mempengaruhi perumusan norma hukum arbitrase dalam UU No. 30 Tahun 1999. Budaya hukum musyawarah untuk mufakat seharusnya digunakan sebagai parameter untuk menyempurnakan perumusan substansi norma-norma hukum dan tatanan prosedural. Kedua, sejumlah besar masyarakat adat dan komunitas sosial yang masih menerapkan dan melestarikan nilai-nilai luhur, tradisi maupun kearifan lokal dapat menjadi kekuatan mempengaruhi sikap masyarakat untuk menghindari sengketa apalagi melalui lembaga formal di pengadilan. Ketiga, arbitrase di masa depan membutuhkan revisi norma-norma substantif dan prosedural yang dapat mengukuhkan budaya hukum musyawarah untuk mufakat. Revisi harus benarbenar berlandaskan pada jiwa dan budaya hukum, dan kearifan lokal yang digali dari hukum dan praktik oleh lembaga-lembaga adat, seperti prinsip kerukunan, musyawarah untuk mufakat yang merupakan kebenaran yang sebenar-benarnya, gotong royong, saling menghormati, menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dan melaksanakan apa yang telah disepakati.