Marriage is a bond between a man and a woman declared as spouses (husband and wife) to form a family (household) on the basis of happiness and eternal relationship in accordance with the main principle of Pancasila, Belief in the One and Only God. The objective of a marriage is to form a family based on happiness and everlasting. Based on the said objective, it is said that the Indonesian Law No. 1 of 1974 regarding Marriage (“Marriage Law”) creates a situation to undermine the process of divorce, but on the other hand, Article 39 (2) regulates the conditions whereas it can be used as a basis to support the divorce. Article 35 (1) states that jointly acquired property will be considered as joint treasure. To secure the rights over the joint treasures, Marriage Law regulates the procedures to request for confiscation, including the Jointly Treasure Confiscation (Marital Seizure). Based on the analysis of the background above, therefore writer tries to analyze the problems on the deliberation of the Council of Judges in the Decision No.21/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Ut and decision No.316/Pdt/2015/PT SMG which granted the request of Marital Seizure and the execution of Marital Seizure over the joint treasure based on the prevailing law. The method of the legal researches which will be used is normative with the approach to Indonesian Law and Cases. The type of analysis will be qualitative. On the decision No.21/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Ut, Council of Judges granted the claim of Plaintiff and declared that Marital Seizure is duly valid and valuable. Moreover, on the Decision No.361/Pdt/2015/PT SMG, Council of Judges stated to be in favor of the considerations of First Degree Council of Judges, which stated that, according to Marriage Law, the marriage between Plaintiff and Defendant is null and void as the result from the divorce and declared that the Marital Seizure over the Joint Treasure and the execution of the Marital Seizure are regulated only in HIR and Rbg. / Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Berdasarkan tujuan dari perkawinan tersebut, maka Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian, namun Pasal 39 Ayat (2) mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian. Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Untuk menjamin hak-hak atas benda bersama tersebut maka undang-undang mengatur tentang permohonan sita terhadap barang-barang sengketa salah satunya adalah Sita Harta Bersama (Sita Marital). Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan tentang pertimbangan hukum Majelis hakim dalam Putusan No.21/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Ut dan Putusan No.316/Pdt/2015/PT SMG yang mengabulkan sita marital dan pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama berdasarkan hukum yang berlaku. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan Undang-undang dan pendekatan kasus. Sifat analisis adalah kualitatif. Pada Putusan No.21/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Ut Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan sita marital sah dan berharga. Kemudian pada Putusan No.361/Pdt/2015/PT SMG Majelis Hakum nenyatakan bahwa memperkuat pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa menurut hukum perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian, dan menyatakan Sita Marital terhadap harta bersama dan mengenai pelaksanaan sita marital hanya diatur didalam HIR dan Rbg.