Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam menjalankan tugas dan jabatannya PPAT berpotensi terlibat atau melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga yang dimaksud dengan korupsi tidak hanya suap akan tetapi meliputi pula perbuatan-perbuatan “melawan hukum” dan “menyalahgunakan kewenangan” dalam pengertian formil dan materiil yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi serta adanya unsur mengakibatkan kerugian negara. Dalam perkembangan penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia terdapat beberapa kasus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ditempatkan selaku terdakwa dan akhirnya menjadi terpidana. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan memberikan pemahaman mengenai praktik penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 oleh hakim tindak pidana korupsi khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PPAT. Bentuk penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil analisis menujukkan bahwa Majelis Hakim memahami perbedaan penerapan unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. / Land Deed Maker Officials (PPAT) is a public official who is given the authority to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or Property Rights to Flat Units. In carrying out their duties and positions, PPAT has the potential to be involved or commit a criminal act of corruption. Criminal acts regulated in the Law on the Eradication of Corruption Crimes are formulated in such a way that what is meant by corruption is not only bribery but also includes acts "against the law" and "abuse of authority" in the formal and material sense that enrich oneself or others or a corporation as well as the existence of elements resulting in state losses. In the development of the prosecution of corruption in Indonesia, there are several cases where as a Land Deed Maker Officials (PPAT) is placed as a defendant and eventually becomes a convict. The purpose of this study is to analyze and provide an understanding of the practice of applying Article 2 paragraph (1) and Article 3 of Law no. 31 of 1999 jo. UU no. 20 of 2001 by judges on corruption crimes, especially in cases of corruption committed by PPAT. The form of legal research used is normative juridical. The results of the analysis show that the Panel of Judges has understood the difference in the application of the "everyone" element in Article 2 paragraph (1) and Article 3 of the Corruption Law.