A guardianship substantially is a supervision of someone as stipulated in the legislation and management of the goods of the minors. Pursuant to Article 362 of Indonesian Civil Code, prior conducting its duties, a custodian is required to take an oath before the BHP. However, based on a fact-finding shows that most of custodian have not taken an oath before the BHP. This research discusses the legal position of the custodian and the legal consequences of custodian’s action who acts as a custodian but has not taken an oath before the BHP. This research further discuss the role of the BHP as the supervisor of the custodian. To answer these problems, the Author use normative juridical research method. Based on this research, it can be conclude that the legal position of a custodian appointed by a District Court decision which has not taken an oath before the BHP is not legally valid because it is contrary to Article 362 of Indonesian Civil Code, which clearly requires the custodian to take an oath before the BHP after the custodian got its decision from the District Court. It means that the custodian may legally perform its legal action after it has taken an oath before the BHP. Further, in relation to the legal consequences of the legal action that taken by the custodian who has not taken an oath before the BHP is not regulated in detail in the Indonesian Civil Code and/or other applicable law, the Indonesian Civil Code does not provide any sanction to such violation. This means that the legal action that taken by the custodian does not come into a problem. It also inhibits BHP’s performance as the supervisor of the custodian due to lack of public knowledge related to BHP and there is an ego-sectoral occurs between the BHP and the District Court. / Perwalian itu dalam pokoknya adalah pengawasan atas orang sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa. Sebelum menjalankan tugasnya, wali wajib untuk diangkat sumpahnya di hadapan BHP. Namun, faktanya masih banyak wali yang tidak disumpah oleh BHP. Permasalahan yang kemudian timbul ialah terkait kedudukan hukum wali dan akibat hukum yang timbul terhadap tindakan wali yang tidak disumpah oleh BHP serta peran BHP sebagai wali pengawas. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Adapun hasil penelitiannya, yaitu kedudukan hukum seorang wali berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri yang belum diangkat sumpah di hadapan BHP belum sah secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 362 KUHPER yang mengamanatkan seorang wali setelah penetapannya oleh Pengadilan Negeri wajib diangkat sumpah oleh BHP. Hal ini berarti wali secara sah dapat melakukan tindakan-tindakan hukum atas kepentingan anak perwaliannya setelah diangkat sumpahnya oleh BHP. Terkait dengan akibat hukum terhadap tindakan hukum wali yang belum disumpah tersebut tidak diatur secara rinci dalam KUHPER maupun peraturan perundang-undangan yang lain sehingga tindakan hukum wali yang belum disumpah menjadi tidak masalah karena ketiadaan suatu sanksi yang tegas dalam ketentuan yang mengatur perwalian. Hal ini juga menghambat kinerja BHP dalam perannya sebagai wali pengawas yang diakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat terkait BHP dan adanya ego sektoral yang terjadi antara BHP dengan Pengadilan Negeri.