Prostitusi adalah bentuk penyimpangan hubungan seksual, yaitu suatu perbuatan yang sifatnya anti sosial karena melanggar norma kesusilaan, norma kesopanan, norma adat dan norma agama. Prostitusi melibatkan diantaranya Pekerja Seks Komersial, Muncikari, serta Pengguna Jasa. Kegiatan ini merupakan suatu kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat terlebih bertentangan dengan norma kesusilaan. Dimana kegiatan yang bertentangan ini dijadikan sebagai wadah pemuasan seksual juga sebagai mata pencaharian oleh pihak-pihak yang terikat didalamnya. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif-doktrinal. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa diantara ketiga pihak yang berperan di dalam kegiatan ini, hukum positif di Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memberikan sanksi bagi muncikari, yang diatur dalam Pasal 296 KUHP. Sedangkan kedua pihak yang membantu terwujudnya kegiatan ini yakni PSK serta Pengguna Jasanya tidak dikenakan sanksi, dan hanya dijadikan saksi dalam persidangan. Dari hasil penelitian ini penulis menemukan bahwa penggunaan Pasal 296 KUHP harus dijunctokan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP, supaya pihak-pihak yang terkait terjerat pula. Keberadaan Rancangan KUHP yang lebih rinci dan tepat karena mengatur perihal pihak-pihak yang terkait dengan PSK melalui Pasal 460 ayat (1) huruf e Rancangan KUHP / Prostitution is a form of sexual deviation, which is an act of anti-social because it violates the norms of obscenity, norms of decency, traditional norms and religious norms. Prostitution involves commercial sex workers, pimps and service users. This activity is an activity that is contrary to the values that exist in society especially contradicting the norms of decency. Where these conflicting activities serve as a place for sexual gratification as well as a livelihood for the sex workers and pimps. This study uses the normative-doctrinal juridical type of research. Through this research, it was found that among the three parties involved in this activity, positive law in Indonesia, namely the Criminal Code (KUHP) only provides sanctions for pimps, regulated in Article 296 of the Criminal Code. While the two parties who helped the realization of this activity namely the CSW and its service users are not subject to sanctions, and only served as witnesses in the court. From the results of this study the authors found that the use of Article 296 of the Criminal Code must be linked with Article 55 paragraph (1) of the Criminal Code, so that the parties involved are also entangled. The existence of the Criminal Code Draft is more detailed and precise because it regulates the parties related to the CSW through Article 460 paragraph (1) letter e of the Criminal Code Draft