Korupsi merupakan musuh terbesar bangsa saat ini. Berbagai macam janji diucapkan oleh pemerintah untuk memberantas benalu yang menggerogoti kesehatan dan kemakmuran bangsa ini. Berbagai macam alasan diutarakan dan berbagai upaya dilakukan untuk memberantas kejahatan yang merugikan keuangan negara ini. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 adalah senjata andalan para penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi. Namun tetap saja ada ketidakseragaman dalam penafsiran dan penerapan kekuatan hukum ini. Bahkan dalam induk perundangan hukum pidana pun, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), masih sering terjadi ketidaksepahaman dalam penafsiran dan penerapan pasal per pasalnya. Ketidakseragaman tersebut misalnya terlihat pada penafsiran dan penerapan pasal 64 ayat (1) KUHP tentang perbuatan berlanjut (voorgezette handeling). Sehingga aturan perundangan yang menjadi induk hukum pidana ini pun menjadi kurang tepat penafsirannya dalam kaitannya dengan penerapan dalan hukum pidana yang bersifat khusus seperti tindak pidana korupsi. Dan dalam hal ini mengenai perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah yaitu adakah unsur-unsur perbuatan berlanjut dalam tindak pidana korupsi dengan tinjauannya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 995 K/ PID/ 2006 juncto Nomor 996 K/ PID/ 2006 dalam Tindak Pidana Korupsi terhadap Nazaruddin Sjamsuddin selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Hamdani Amin selaku Pegawai Negeri Sipil/Kepala Biro. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan mendalami hakekat serta unsur-unsur perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) dan mengetahui keberadaan perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) dalam Tindak Pidana Korupsi. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan serta literatur yang ada relevansinya dengan materi yang dibahas. / Corruption is the biggest enemy for our nation nowadays. A lot of promises had been given by the government to throw away the parasite that has been destroying the wealth and the health of this nation. So many excuses had beed said and so many efforts had been done to erase this criminal act that has been giving bad impacts for the economical side of this country. The Act Number 31 0f 1999 that had been changed with the Act Number 20 of 2001 on Corruption is the main weapon for law enforcement officers to destroy corruption. But still there are some differentiations toward the interpretations and implementations of this law enforcement. Even in the main regulation of Criminal Law, the Indonesian Book of Criminal Law (KUHP), there are still some differentiations toward the interpretations and implementations of the articles. For example, those differentiations could be seen in interpretations and implementations of the article 64 (1) KUHP about voorgezette handeling. So that, this main regulation of Criminal Law could hardly reach its aim to interpret the article in its connections with the implementation of this article towards the “special” Criminal Law, like corruption. Based on that background, so it could be formulated as the main problem are there any unsure of voorgezette handeling in the corruption, using the point of view of the Case Result of the Supreme Court Number 995/K/PID/2006 juncto Number 996/K/PID/2006 in the Corruption Act towards Nazaruddin Sjamsuddin as the Chiel of the Election Committee (KPU) and Hamdani Amin as the public officer/ Chief Department. And the aims of this research is to comprehend the meaning and unsure of voorgezette handeling and to know the existence of voorgezette handeling in the corruption. The method that is used in this final paper is normative jurisdiction, which means a research that based on the regulations and literature relevant with the case discussed in this paper.