Penelitian ini membahas penggunaan fashion sebagai sarana komunikasi identitas dan bentuk perlawanan komunitas marjinal di Jakarta Selatan. Masalah utama yang dikaji adalah bagaimana fashion dalam komunitas ini digunakan untuk melawan gaya fashion arus utama yang dianggap mengekspresikan kapitalisme dan konsumerisme. Tujuan penelitian ini untuk memahami makna fashion sebagai simbol identitas danbentuk resistensi komunitas punk terhadap norma dominan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang melibatkan wawancara mendalam terhadap anggota komunitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fashion di komunitas marjinal tidak hanya berfungsi sebagai pilihan estetika, tetapi juga sebagai medium komunikasi non-verbal untuk menyampaikan nilai-nilai anti-kapitalis, independensi, dan solidaritas. Teori identitas sosial juga relevan, karena anggota komunitas menggunakan fashion untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan norma dominan. Identitas sosial mereka terbentuk melalui proses kategorisasi diri, di mana mereka membedakan diri dari kelompok arus utama dengan simbolisme dalam fashion yang mereka gunakan. Praktik DIY (Do It Yourself) menjadi penting dalam komunitas ini, memungkinkan mereka untuk mengkreasi fashion secara otentik, jauh dari pengaruh industri fashion arus utama. Sebagai saran, penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi lebih dalam bagaimana subkultur marjinal berinteraksi dengan budaya populerserta dampaknya terhadap identitas sosial anggota komunitas. / This research discusses the use of fashion as a medium for identity communication and a form of resistance by the marginal community in South Jakarta. The primary issue explored is how fashion within this community is used to challenge mainstream fashion trends that are perceived to express capitalism and consumerism. The aim of this study is to understand the meaning of fashion as a symbol of identity and as a form of resistance by the punk community against dominant norms. This research employs a qualitative method with a phenomenological approach, involving in-depth interviews with community members. The findings indicate that fashion within the marginal community serves not only as an aesthetic choice but also as a non- verbal communication medium to convey anti-capitalist values, independence, and solidarity. The DIY (Do It Yourself) practice is essential within this community, enabling them to create fashion authentically, apart from mainstream fashion industry influences. For future research, it is suggested to further explore how the marginal subculture interacts with popular culture and its impact on the social identity of community members.