Under President Rodrigo Duterte’s administration (2016–2022), press freedom in the Philippines encountered significant threats. Media organizations, particularly Rappler, faced systemic repression, including legal harassment, accusations of foreign ownership, and direct threats to its journalists. These measures aimed to silence dissent and weaken media independence. This study explores Rappler’s pivotal role in resisting these authoritarian pressures, focusing on its strategies to combat disinformation, expose government abuses, and promote global advocacy for democracy and human rights. Grounded in liberalism theory and human rights concepts, this research employs a qualitative case study approach, utilizing secondary data and interviews. Key findings reveal Rappler’s innovative strategies, such as in-depth investigative journalism, rigorous fact-checking, partnerships with civil society, and active engagement in international advocacy. Despite the high risks, Rappler courageously documented and exposed critical issues, including extrajudicial killings associated with Duterte’s war on drugs. These efforts exemplified the power of independent journalism in times of crisis. This thesis emphasizes the broader significance of Rappler’s fight for press freedom, not only as a safeguard for democracy in the Philippines but also as a beacon for global awareness. Rappler’s resilience serves as a powerful example of the essential role independent journalism plays in challenging repression, protecting human rights, and upholding democratic values worldwide. / Di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte (2016–2022), kebebasan pers di Filipina menghadapi ancaman signifikan. Organisasi media, khususnya Rappler, mengalami represi sistemik, termasuk pelecehan hukum, tuduhan kepemilikan asing, dan ancaman langsung terhadap jurnalisnya. Langkah-langkah ini bertujuan untuk membungkam perbedaan pendapat dan melemahkan independensi media. Penelitian ini mengeksplorasi peran penting Rappler dalam melawan tekanan otoriter ini, dengan fokus pada strategi-strategi untuk memerangi disinformasi, mengungkap pelanggaran pemerintah, dan mempromosikan advokasi global untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Berdasarkan teori liberalisme dan konsep hak asasi manusia, penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif, dengan memanfaatkan data sekunder dan wawancara. Temuan utama menunjukkan strategi inovatif Rappler, seperti jurnalisme investigatif mendalam, pemeriksaan fakta yang ketat, kemitraan dengan masyarakat sipil, dan keterlibatan aktif dalam advokasi internasional. Meskipun menghadapi risiko tinggi, Rappler dengan berani mendokumentasikan dan mengungkap masalah penting, termasuk pembunuhan di luar hukum yang terkait dengan perang narkoba Duterte. Upaya ini menunjukkan kekuatan jurnalisme independen dalam menghadapi krisis dan penindasan. Penelitian ini menekankan betapa pentingnya perjuangan Rappler untuk kebebasan pers, tidak hanya sebagai pelindung demokrasi di Filipina, tetapi juga sebagai contoh bagi kesadaran global. Ketangguhan Rappler menjadi contoh kuat peran esensial jurnalisme independen dalam melawan represi, melindungi hak asasi manusia, dan menjaga nilai-nilai demokrasi di seluruh dunia.