This study aims to analyze the effect of limitation arrangements on the right to sue for cancellation of registered trademarks on the potential creation of legal uncertainty and provide ideas for reformulation of relevant arrangements to support the application of the principle of “first to file” in trademark law in Indonesia. The trademark law system in Indonesia that applies the principle of “first to file” gives exclusive rights to the party who first registered the trademark, but this provision often creates legal uncertainty, especially for the original owner of a well-known trademark that is late in registering. The regulation in Article 77 paragraph (1) of Law Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications sets a time limitation of five years to file a cancellation lawsuit, which can lead to loss of legal rights for the original owner of the mark. This research finds that the limitation creates a legal loophole that allows parties in bad faith to utilize the system to register a widely recognized mark. As a result, it creates legal uncertainty and harm to the original owner of the mark as well as disrupting fair business competition. Through a juridical normative approach, this research recommends a reformulation of the limitation of rights to sue, including an expansion of the definition of bad faith, stronger protection of well-known marks, and a more effective objection mechanism. This reformulation is expected to create a balance between formal legal certainty and substantive justice, support the protection of intellectual property rights, and encourage a healthy business competition climate in Indonesia. / Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengaturan pembatasan hak menggugat pembatalan merek terdaftar terhadap potensi terciptanya ketidakpastian hukum dan memberikan gagasan reformulasi pengaturan yang relevan untuk mendukung penerapan prinsip “first to file” dalam hukum merek di Indonesia. Sistem hukum merek di Indonesia yang menerapkan prinsip “first to file” memberikan hak eksklusif kepada pihak yang pertama kali mendaftarkan mereknya, namun ketentuan ini seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama bagi pemilik awal merek terkenal yang terlambat mendaftarkannya. Pengaturan dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menetapkan batasan waktu lima tahun untuk mengajukan gugatan pembatalan, yang dapat menyebabkan hilangnya hak hukum bagi pemilik merek. Penelitian ini menemukan bahwa pembatasan tersebut menciptakan celah hukum yang memungkinkan pihak-pihak yang beritikad tidak baik untuk memanfaatkan sistem tersebut untuk mendaftarkan merek yang sudah dikenal luas. Akibatnya, hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan pemilik merek serta mengganggu persaingan usaha yang sehat. Melalui pendekatan yuridis normatif, penelitian ini merekomendasikan adanya reformulasi pembatasan hak gugat, antara lain perluasan definisi iktikad tidak baik, perlindungan yang lebih kuat terhadap merek terkenal, dan mekanisme keberatan yang lebih efektif. Reformulasi ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kepastian hukum formal dan keadilan substantif, mendukung perlindungan hak kekayaan intelektual, dan mendorong iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.