Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya teknologi blockchain, telah menghadirkan berbagai inovasi, salah satunya adalah kontrak pintar yang diusulkan oleh Nick Szabo pada tahun 1996. Sebagai bentuk kontrak digital yang dieksekusi secara otomatis berdasarkan pemrograman komputer. Meskipun konsep ini menawarkan efisiensi, transparansi, dan pengurangan risiko human error, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi regulasi maupun kesiapan infrastruktur hukum. Beberapa negara yang telah menerapkan kontrak pintar dengan teknologi blockchain adalah Belanda dan Uni Emirat Arab. Namun, kekhawatiran cara kerja eksekusi otomatis adalah dapat menggantikan peran praktisi hukum seperti notaris. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji sejauh mana kerangka hukum 3 (tiga) negara tersebut dapat mengakomodasi keberadaan kontrak pintar sebagai bentuk kesepakatan hukum dan mengikat dengan metode normatif empiris, selain sumber literatur, penelitian ini juga mempertimbangkan hasil wawancara dengan 2 (dua) notaris di Indonesia dan 1 (satu) perwakilan dari teknologi blockchainperusahaan pengembangan perangkat lunak. Hasil penelitian ini adalah masih ada keterbatasan penggunaan kontrak pintar, khususnya dalam dunia notaris, penggunaan kontrak pintar di Belanda dan Uni Emirat Arab digunakan sepenuhnya pada perusahaan yang awalnya menerapkan teknologi blockchain seperti di bidang perbankan, aset virtual dan lain-lain. Di Indonesia, khususnya di dunia notaris, teknologi blockchain baru saja diinisiasi untuk penyimpanan aman dan verifikasi identitas, sehingga peran notaris masih dibutuhkan./ The development of information and communication technology, especially blockchain technology, has presented various innovations, one of which is smart contracts that proposed by Nick Szabo in 1996. As a form of digital contract that is executed automatically based on computer programming. Although this concept offers efficiency, transparency, and reduced risk of human error, its implementation still faces various challenges, both in terms of regulation and the readiness of legal infrastructure. Some of the countries that have implemented smart contracts with blockchain technology are the Netherlands and the United Arab Emirates. However, the concern of the way automatic execution works is that it can replace the role of legal practitioners such as notaries. Therefore, the study examines the extent to which the legal framework of the 3 (three) countries can accommodate the existence of smart contracts as a form of legal and binding agreement with empirical normative methods, in addition to literature sources, this study also considers the results of interviews with 2 (two) notaries in Indonesia and 1 (one) representative from blockchain technology software development company. The result of this study is that there are still limitations in the use of smart contracts, especially in the world of notary, the use of smart contracts in the Netherlands and the United Arab Emirates is fully used in companies that initially apply blockchain technology such as in the field of banking, virtual assets and others. In Indonesia, especially in the world of notary, blockchain technology has just been initiated for secure storage and identity verification, so the role of notaries is still needed.